Sunday, September 20, 2015

(Osing) Nang BW+Nyabrang sedelok 19-09-2015

Wingyenanek (19/09), isun ambi wong 4 kanca-kanca nisun mlaku-mlaku sedelok nyang bumi Blambangan, ketepa'an, ono promoan Rp 70rb kercis sepur nyang sak paran-paran jurusan sak Indonesia, dadi isun ambi lare-lare liyo juwut promoan iku, akhir e oleh KA Mutiara Timur (Surabaya-Byanyuwangai .pp) hang ngatarkan rombongan nisun nyang nggon tujuan.

Dung titik foto sepur hang sun biso jepret, mergo awak e sun dewe sing fit nemen, rodho' kurang turu. Buru ring Probolinggo (PB) isun biso njepret. Iki lho lek hasil e ring PB, sakjane sing ono hang spesial nong PB, mung ono gerbong lawas ambi lokkes 1.

Gerong Herittage (sing weruh isun bengen di kanggo paran)

Gerbong lawas liyo nong PB
CC201 78 02 YK Lokkes PB

Mari iki, isun langsung turu, baru pas ring Jatiroto isun nggirat, langsung njepret koyo paran stasiun e

Stasiun Jatiroto

Hang sun anteni akhir e teko ugo, KA Mutiara Timur hang sun tumpaki teko ring Stasiun Jember, apuwo gedigu? soal e Jember iku tempat e lokomotif lawas, terutama seri BB, jenis Diesel Hidrolik (sing ngerti yo? cobo riko googling deh :D) pas teko nong JR, ketepakan ono rangkaian e KA Pandanwangi (Jember-Byanyuwangai .pp) arep dilangsir nyang jalur 6, pas iku, penampakan hang sun anteni muncul...BB303 80 01 (38) JR ono ring jalur 5 hang sak durunge ketinggulyan KA Pandanwangi hang arep dilangsir. Iki penampakan e lek...
BB303 38, spesialis langsir JR


cuCCu lan mBBah bersandingan

Pandanwangi ring jalur 6 (Jalur simpan JR)
Hang sun weruh nong perjalanan iki, masinis iku mesti ganti ring JR, soal e masinis JR hang weruh trek e Jember-Byanyuwangi iku koyo paran, sakjane persis koyo nong Daop 2 Bandung, Jawa Barat, cuma, trek ring kene sing nggawe Gongsol (rel tambahan dung rel e nikung), dadi masinis mesti extra serantan, sing biso ngebut nemen, salah-salah biso anjlok. Kontur lemah hang munggah mudun khas pegunungan nggarakno trek iki angel kanggo lokomotif Diesel Elektrik biso ngelibas jalur iki, tangan masinis mesti dulinan throttle ambi rem, sing koyo lok spesialis jalur iki jenis diesel hidrolik hang throttle e model koyo setir mobil, dadi kari diputer-puter byaen. Iki ono titik foto pemandangan lintas iki.

Pemandangan lintas Jember-Banyuwangi
Akhir e tepat waktu jam 15.30, KA Mutiara Timur taker ring Stasiun Byanyuwangi Baru, isun mudun langsung disambut lokomotif BB301 65 10 JR, sebagai lok langsir Byanyuwangai. iki penampakan e
BB 301 65 10 JR

Ngelangsir Rangkaian
Arep Mlebu nyang dipo
Sakmarine iku, isun nglako'no ritual wajib (wenaaak :D) dung isun nyang Byanyuwangi, yaiku nyabrang sedelok nyang Bali lan balik maning mesisan deleng sunset, iki foto pemandangan e...

Langit cerah, ojo sampe kecemar

Sunset ketutup awan, khas Selat Balai (Lare Osing ngomong Bali iku Balai :D)
Wis sakmono byaen tulisan ku, kesuwon yo lek wis moco :D

Wednesday, September 9, 2015

67 Tahun Hari Olahraga Nasional, Stadion-Stadionnya Bagaimana?

Hari Olahraga Nasional, kalau kita mencari lagi di internet tentang kapan awal mulanya peringatan hari ini, maka yang kita temukan adalah pada tanggal 9 September 1948 adalah hari dibukanya Pekan Olahraga Nasional untuk pertama kalinya di Surakarta, Jawa Tengah. Berarti sudah 67 tahun sudah olahraga kita diperingati, namun apabila kita berbicara soal sebuah pekan olahraga maka tidak lepas pula dari yang namanya venue atau infrastruktur untuk menunjangnya sebuah pekan olahraga tersebut. Namun apakah masyarakat olahraga kita sudah melihat persoalan itu?


Dari pengamatan penulis tidak banyak infrastruktur olahraga di negeri ini yang bisa dikatakan cukup layak, baik dari lapangan atau penunjang lainnya, bahkan disatu atau beberapa kasus bangunan tersebut makin berkurang, entah dialihfungsikan menjadi bangunan dengan kegunaan yang lain atau memang penutupan untuk area terbuka, sebagai contoh untuk pengurangan bangunan tersebut ada di Jakarta, menurut pengamatan penulis, setidaknya dari dibangunnya Monumen Nasional tahun 1961 setidaknya sudah ada 3 (3) stadion sepakbola dan madya (sepakbola yang bercampur dengan atletik) yang menghilang dari tata ruang kota, di urutan pertama ada Lapangan/Stadion IKADA (IKatan Atletik DjAkarta) yang pada 17 Agustus 1961 dibongkar untuk dibangun Monumen Nasional, yang kemudian menjadi lambang dari Daerah Khusus Ibukota itu sendiri. Kemudian pada sekitar tahun 2006-an lagi-lagi Jakarta kehilangan stadion yang sudah tenar didunia persepakbolaan kita, khususnya Jakarta, Stadion Menteng yang dulu dikenal dengan Lapangan VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport), merupakan markas bagi tim Macan Kemayoran, Persija Jakarta, dibangun pada jaman penjajahan Belanda tahun 1921 dan menghilang dari ibukota tahun 2007 untuk dijadikan Taman Kota yang sekarang dikenal dengan Taman Menteng, dan lagi-lagi pada tahun ini, 2015, stadion dibilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang kental dengan nuansa kemenangan dan juara menghilang dari Peta, akhirnya Persija Jakarta yang "sebetulnya" masih betah di stadion ini harus angkat kaki dari Stadion Lebak Bulus, entah sampai kapan Jakarta akan terus kehilangan stadion dan infrastruktur olahraga? Tidak ada yang tahu, karena lahan semakin sedikit, maka mau tidak mau fasilitas seperti stadion sepakbola menjadi sasaran.


Beranjak dari Jakarta, dan menilik kebanyak daerah, seperti yang diucapkan penulis sebelumnya kalau untuk urusan stadion memang masih belum banyak yang masuk ke kategori layak kompetisi nasional, apalagi kalau dipakai malam, dari banyak kasus, paling banyak adalah menunggu tim dari suatu daerah yang memiliki stadion kurang layak berprestasi dulu baru kemudian infrastruktur ditingkatkan kualitasnya, menurut penulis sebenarnya pemerintah atau pemegang kelola stadion tidak perlu menunggu momen seperti itu baru melakukan perubahan yang bisa dibilang hanya untuk memenuhi standar kompetisi tertinggi, padahal kita tidak tahu apakah tim tersebut bisa bertahan atau tidak. Yang lebih penulis kritisi disini selain keadaan adalah ketersediaan penerangan lapangan, menurut penulis ini cukup vital karena apabila tersedia maka tidak ada lagi percakapan yang mengatakan "Ah...Liga Indonesia pasti main sore terus", penetapan standar infrastruktur seperti ini disemua lapisan kompetisi akan merubah stigma atau pandangan tersebut, selain itu penulis juga percaya bila ada stadion yang memiliki lampu penerangan lapangan menunjukkan bahwa aliran listrik diwilayah tersebut sudah bisa dikatakan cukup walaupun masih memerlukan genset apabila aliran sedang seret-seretnya, namun apabila bicara tentang Indonesia, maka jangan kaget bila suatu pertandingan malam dihentikan karena mati lampu, karena aliran nasional saja sering byar-pet! dibanyak daerah.


Penulis kira dengan pemerintah dan stakeholder yang bersangkutan sudah sadar akan olahraga pasti tergerak hatinya untuk merenovasi atau membangun lagi stadion yang lebih layak tanpa harus menunggu momentum promosi atau juara dahulu, karena memang kita harus merawat dan menggodok lagi atlit-atlit kita di venue yang layak dan nyaman digunakan para atlit tersebut untuk berlatih. Karena kita juga tidak mau kan berada di tempat yang tidak enak terus?. Setelah melihat hal pahit di Jakarta, ada pula kabar gembira diluar daerah, yaitu makin banyak stadion yang diperbaiki dan makin banyak daerah yang membangun stadion baru di daerah mereka masing-masing, tentu dengan standar Internasional yang sudah diterapkan di kompetisi teratas di tanah air, memang tidak semua disorot media, tapi begitu kita sudah sampai disana kitapun akan kaget tiba-tiba wajah suatu stadion sudah berubah.


Harapan penulis sih hanya satu, agar pemerintah atau siapapun yang berjiwa peduli olahraga suatu daerah membangun atau memperbaiki venue-venue yang ada agar bibit-bibit atlit kita makin nyaman menggeluti minatnya untuk mengabdi pada tanah air mereka di fasilitas yang nyaman dan membuat mereka betah untuk tetap menekuni cabor yang mereka sukai.

Selamat Hari Olahraga Nasional, Jayalah Olahraga Indonesia!